OLEH : SYAIFUL HIDAYATULLAH
Sejarah pemilu bangsa Indonesia mengalami proses dirupsi
dalam perkembangannya, mulai dari Orla, Orba, sampai reformasi. Sejarah pemilu
pada era ORLA paling demokratis di Indonesia adalah terjadi pada tahun 1955.
Pemiilu pada tahun 1955 dinilai sebagai pemilu paling demokratis sepanjang
sejarah bangsa Indonesia, yang notabene keadaan negara pada saat itu dalam
keadaan sembrawut akan tetapi dapat menjalankan system pemilu dengan begitu
demokratis sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Orla ke
ORBA adalah perubahan peralihan yang menjadikan system pemilu bangsa Indonesia
yang awalnya dipilih langsung oleh rakyat sudah tidak lagi diberlakukan. Pada masa
ORBA segala sesuatunya, termasuk system pemilu diarahkan untuk tetap memilih
ORBA yang notabene partai golkar sebagai partai atau alat yang dijadikan oleh
ORBA untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Keberadaan partai pada ORBA
terbilang sangat sesdikit, dan hamper pada ORBA tidak terlalu banyak aktivis
maupun politisi yang melakukan kritik atas ORBA. Pengontrolan penuh ORBA dalam
berbagai macam sector ini dengan melibatkan ABRI sebagai intitusi yang dapat
melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok yang membangun diskursus.
Momemtum untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, mencuat
saat salah satu anggota Dewan keterwakilan dari Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yaitu Khofifah Indah Parawansa yang secara terbuka mengkritik ORBA dan
menyatakan diri Bahwa saatnya pada tahun 1998 ORba akan mengalami kejatuhan.
Hal yang sama dilakukan oleh Para aktivis cipayung plus, salah satunya adalah
datang dari ketua Umum organisasi eksternal Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Abdul Muhaimin Iskandar, dengan disusul gelombang protes
datang dari berbagai tokoh, pemuda, dan mahasiswa, yang berpuncak pada tahun
1998. Gelombang protes ini dilakukan untuk mengembalikan kedaultan ditangan
rakyat. Gerakan bernama REFORMASI ini memiliki beberapa agenda yang harus
dilakukan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen
terhadap Undang-undang dasar (UUD) sebagai Konstitusi dari negara. UUD sebagai
hukum dasar memilki peranan yang sangat penting mengingat UUD adalah dasar dari
pada segala bentuk kehendak yang inginkan oleh negara di masa depan. Salah satu
agenda yang ingin dilakukan perubahan dalam pasal undang-undang dasar adalah
pada pasal 6A yang mengatur tentang kepemiluan agar dikembalikan kepada
kedaultan rakyat seutuhnya dengan membentuk suatu lembaga yang menyelenggarakan
dalam urusan kepemiluan dalam hal ini adalah Lahirnyha Komisi pemilihan Umum
(KPU).
Ada beberapa tahapan selain daripada melakukan perubahan
atau amandemen terhadap Undang-undang dasar yang berkaitan dengan PEMILU adalah
sebagai berikut :
1.
Mengembalikan kedaulatan rakyat
dengan melakukan amandemen undang-undang dasar yang berkaitan dengan system
pemilu (pasal 6A).
2.
Melakukan pemilihan presiden
langsung. Jika pada jaman ORLA dan ORBA pemilihan hanya memilih partai, di era
reformasi dengan melakukan perubahan dalam system pemilunya, pemilihan akan
diarahkan pada orangnya bukan pada partainya.
3.
Memungkinkan calon ikut dalam
pemilu.
4.
Penguatan hak disabilitas dalam pemilu. Barulah kemudian
tercantum dalam PKPU dan Peraturan bawaslu
5.Mendorong keterwakilan dari
perempuan (affirmation action). Undang-undang nomor 11 tahun 2003 adalah
undang-undang pertama yang membicarakan keterwakilan 30% dari perempuan.
Azas-Azas Pemilu Demokratis
1.
Langsung
2.
Umum
3.
Bebas
4.
Rahasia
5.
Jujur
6.
Adil
(UUD 1945, UU pemilu Gubernur, Bupati, dan walikota).
Azas Penyelenggara Pemilu
1.
Mandiri
2.
Jujur
3.
Adil
4.
Berkepastian hukum
5.
Tertib
6.
Terbuka
7.
Professional
8.
Proposional
9.
Akuntabel
10.
Efektif
11.
Efesien
(Pasal 3 UU nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilu)
Keberadaan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap
penyelenggara pemilu dirasa sangat penting, mengingat untuk mewujudkan pemilu
yang diinginkan sesuai dengan asas-asas pemilu haruslah dibentuk lembaga
pengawas yang madiri untuk melakukan pengawasan. Bawaslu adalah salah satu lembaga
bentukan semngatg reformasi setelah melakukan perubahan beberapa kali namanya.
Pada perkembangannya Bawaslu dimaknai sebagai lembaga yang berada daibawah KPU,
hal ini dikatakan demikian mengingat keberadaan dari pada penyebutan Bawaslu
dala undang-undang dasar tidak disebutkamn. Dalam undang-undang dasar hanya
menyebutkan KPU, atas dasar ini KPU berkesimpulan bahwasannya bawaslu berada
dibawah KPU. Sehingga dalam hal Bawaslu akan melakukan perekrutan
petugas-petugas maupun komisionernya dilakukan perekrutan oleh KPU selaku
lembaga yang menyelenggarakan pemilu. Atas tindakan yang dilakukan oleh KPU
tersebut, menuai banyak protes dating dari beberapa kalangan, salah satunya
adalah Wahidah Suaeb selaku Tokoh wanita yang gencar menyuarakan keterlibatan 30%
wanita dalam pemilu dan Irman Putra sidin selaku ahli hukum tata negara. Mereka
melakukan Judicial review atas Pasal 6A
yang terdapat dalam Undang-undang dasar Tahun 1945. Irman Putra sidin dalam
pandangannya, berkaitan dengan pasal 6A UUD tersebut menyatakan, bahwa
penyebutan KPU dalam pasal 6A tersebut tidak dimaknai bahwa KPU membawahi semua
lembaga penyelenggara pemilu seperti halnya Bawaslu selaku lembaga pengawas
atas penyelenggaraan pemilu serta berwenang untuk melakukan perekrutan dan test
and propertes atas anggota Bawaslu. Irman Putra Sidin dalam pandangannya
memberikan logika sederhana mengenai KPU tidak sejajar dengan Bawaslu ini.
Secara kedudukan Bawaslu dan KPU memiliki posisi yang sama dalam kedudukannya
sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi dan tugas untuk penyelengagaraan
pemilu. Jika KPU adalah adalah lembaga penyelenggara PEMILU, maka Bawaslu
adalah lembaga yhang melakukan pengontrolan atau pengawasan atas KPU. Bawaslu
sebagai lembaga yang mandiri melakukan pengawasan atas PEMILU tentu untuk
melakukan perekrutan anggotannya dilakukan secara sendiri atau dengan kata lain
tidak melibatkan pihak lain dalam perekrutannya, begitupun halnya KPU itu
sendiri. Bagaimana bisa terwujudnya pemilu yang adil dan terbuka sementara
dalam hal perekrutan anggota tidak dilakukan secara mandiri oleh Bawaslu itu
sendiri. Atas penyampaian Irman Putra Sidin tersebut, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan dalam Putusannya dan mengatakan bahwa Bawaslu Dapat melakukan
pengawasan karena posisi Bawaslu dan KPU adalah Sama.
Berbekal putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bawaslu
menjadi lembaga Pengawas yang dipercayakan oleh seluruh masyarakat diseluruh Indonesia untuk melakukan
pengawasan terhadap pemliu agar terciptanya pemilu yang baik, adil, dan jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar