Rabu, 11 Agustus 2021

Sistem Kepemiluan dan Kepartaian

OLEH : SYAIFUL HIDAYATULLAH

 

Sejarah pemilu bangsa Indonesia mengalami proses dirupsi dalam perkembangannya, mulai dari Orla, Orba, sampai reformasi. Sejarah pemilu pada era ORLA paling demokratis di Indonesia adalah terjadi pada tahun 1955. Pemiilu pada tahun 1955 dinilai sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa Indonesia, yang notabene keadaan negara pada saat itu dalam keadaan sembrawut akan tetapi dapat menjalankan system pemilu dengan begitu demokratis sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Orla ke ORBA adalah perubahan peralihan yang menjadikan system pemilu bangsa Indonesia yang awalnya dipilih langsung oleh rakyat sudah tidak lagi diberlakukan. Pada masa ORBA segala sesuatunya, termasuk system pemilu diarahkan untuk tetap memilih ORBA yang notabene partai golkar sebagai partai atau alat yang dijadikan oleh ORBA untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Keberadaan partai pada ORBA terbilang sangat sesdikit, dan hamper pada ORBA tidak terlalu banyak aktivis maupun politisi yang melakukan kritik atas ORBA. Pengontrolan penuh ORBA dalam berbagai macam sector ini dengan melibatkan ABRI sebagai intitusi yang dapat melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok yang membangun diskursus.

Momemtum untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, mencuat saat salah satu anggota Dewan keterwakilan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu Khofifah Indah Parawansa yang secara terbuka mengkritik ORBA dan menyatakan diri Bahwa saatnya pada tahun 1998 ORba akan mengalami kejatuhan. Hal yang sama dilakukan oleh Para aktivis cipayung plus, salah satunya adalah datang dari ketua Umum organisasi eksternal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Abdul Muhaimin Iskandar, dengan disusul gelombang protes datang dari berbagai tokoh, pemuda, dan mahasiswa, yang berpuncak pada tahun 1998. Gelombang protes ini dilakukan untuk mengembalikan kedaultan ditangan rakyat. Gerakan bernama REFORMASI ini memiliki beberapa agenda yang harus dilakukan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-undang dasar (UUD) sebagai Konstitusi dari negara. UUD sebagai hukum dasar memilki peranan yang sangat penting mengingat UUD adalah dasar dari pada segala bentuk kehendak yang inginkan oleh negara di masa depan. Salah satu agenda yang ingin dilakukan perubahan dalam pasal undang-undang dasar adalah pada pasal 6A yang mengatur tentang kepemiluan agar dikembalikan kepada kedaultan rakyat seutuhnya dengan membentuk suatu lembaga yang menyelenggarakan dalam urusan kepemiluan dalam hal ini adalah Lahirnyha Komisi pemilihan Umum (KPU).

Ada beberapa tahapan selain daripada melakukan perubahan atau amandemen terhadap Undang-undang dasar yang berkaitan dengan PEMILU adalah sebagai berikut :

1.       Mengembalikan kedaulatan rakyat dengan melakukan amandemen undang-undang dasar yang berkaitan dengan system pemilu (pasal 6A).

2.       Melakukan pemilihan presiden langsung. Jika pada jaman ORLA dan ORBA pemilihan hanya memilih partai, di era reformasi dengan melakukan perubahan dalam system pemilunya, pemilihan akan diarahkan pada orangnya bukan pada partainya.

3.       Memungkinkan calon ikut dalam pemilu.

4.       Penguatan hak  disabilitas dalam pemilu. Barulah kemudian tercantum dalam PKPU dan Peraturan bawaslu

5.Mendorong keterwakilan dari perempuan (affirmation action). Undang-undang nomor 11 tahun 2003 adalah undang-undang pertama yang membicarakan keterwakilan 30% dari perempuan.

Azas-Azas Pemilu Demokratis

1.       Langsung

2.       Umum

3.       Bebas

4.       Rahasia

5.       Jujur

6.       Adil

(UUD 1945, UU pemilu Gubernur, Bupati, dan walikota).

Azas Penyelenggara Pemilu

1.       Mandiri

2.       Jujur

3.       Adil

4.       Berkepastian hukum

5.       Tertib

6.       Terbuka

7.       Professional

8.       Proposional

9.       Akuntabel

10.   Efektif

11.   Efesien

(Pasal 3 UU nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilu)

Keberadaan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dirasa sangat penting, mengingat untuk mewujudkan pemilu yang diinginkan sesuai dengan asas-asas pemilu haruslah dibentuk lembaga pengawas yang madiri untuk melakukan pengawasan. Bawaslu adalah salah satu lembaga bentukan semngatg reformasi setelah melakukan perubahan beberapa kali namanya. Pada perkembangannya Bawaslu dimaknai sebagai lembaga yang berada daibawah KPU, hal ini dikatakan demikian mengingat keberadaan dari pada penyebutan Bawaslu dala undang-undang dasar tidak disebutkamn. Dalam undang-undang dasar hanya menyebutkan KPU, atas dasar ini KPU berkesimpulan bahwasannya bawaslu berada dibawah KPU. Sehingga dalam hal Bawaslu akan melakukan perekrutan petugas-petugas maupun komisionernya dilakukan perekrutan oleh KPU selaku lembaga yang menyelenggarakan pemilu. Atas tindakan yang dilakukan oleh KPU tersebut, menuai banyak protes dating dari beberapa kalangan, salah satunya adalah Wahidah Suaeb selaku Tokoh wanita yang gencar menyuarakan keterlibatan 30% wanita dalam pemilu dan Irman Putra sidin selaku ahli hukum tata negara. Mereka melakukan Judicial review  atas Pasal 6A yang terdapat dalam Undang-undang dasar Tahun 1945. Irman Putra sidin dalam pandangannya, berkaitan dengan pasal 6A UUD tersebut menyatakan, bahwa penyebutan KPU dalam pasal 6A tersebut tidak dimaknai bahwa KPU membawahi semua lembaga penyelenggara pemilu seperti halnya Bawaslu selaku lembaga pengawas atas penyelenggaraan pemilu serta berwenang untuk melakukan perekrutan dan test and propertes atas anggota Bawaslu. Irman Putra Sidin dalam pandangannya memberikan logika sederhana mengenai KPU tidak sejajar dengan Bawaslu ini. Secara kedudukan Bawaslu dan KPU memiliki posisi yang sama dalam kedudukannya sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi dan tugas untuk penyelengagaraan pemilu. Jika KPU adalah adalah lembaga penyelenggara PEMILU, maka Bawaslu adalah lembaga yhang melakukan pengontrolan atau pengawasan atas KPU. Bawaslu sebagai lembaga yang mandiri melakukan pengawasan atas PEMILU tentu untuk melakukan perekrutan anggotannya dilakukan secara sendiri atau dengan kata lain tidak melibatkan pihak lain dalam perekrutannya, begitupun halnya KPU itu sendiri. Bagaimana bisa terwujudnya pemilu yang adil dan terbuka sementara dalam hal perekrutan anggota tidak dilakukan secara mandiri oleh Bawaslu itu sendiri. Atas penyampaian Irman Putra Sidin tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan dalam Putusannya dan mengatakan bahwa Bawaslu Dapat melakukan pengawasan karena posisi Bawaslu dan KPU adalah Sama.

Berbekal putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bawaslu menjadi lembaga Pengawas yang dipercayakan oleh seluruh masyarakat  diseluruh Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap pemliu agar terciptanya pemilu yang baik, adil, dan jujur.

             

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar